Minggu, 22 April 2018

Baju Bodo, Baju Tokko, Pakaian Adat Bugis Makassar; Sejarah dan Aturan Pakainya





Tahukah anda? Baju Bodo, busana dengan potongan simetris sederhana, dengan efek menggelembung dan longgar, berasal dari etnis Sulawesi Selatan ini, ternyata salah satu busana tertua di dunia. Dalam Festival Busana Nusantara 2007 di Kuta - Bali, perancang busana kenamaan Oscar Lawalata menegaskan "Baju bodo itu adalah salah satu baju tertua di dunia. Dan dunia internasional belum mengetahuinya,".

Baju Bodo sudah dikenal masyarakat Sulawesi Selatan pada pertengahan abad IX (pen), hal ini diperkuat dari sejarah kainMuslin, kain yang digunakan sebagai bahan dasar baju bodo itu sendiri. Kain Muslin adalah lembaran kain hasil tenunan dari pilinan kapas yang dijalin dengan benang katun. Memiliki rongga dan kerapatan benang yang renggang menjadikan kain Muslin sangat cocok untuk daerah tropis dan daerah beriklim kering.

Kain Muslin (Eropa) atau Maisolos (Yunani Kuno), Masalia (India Timur) dan Ruhm (Arab), tercatat pertama kali dibuat dan diperdagangkan di kota Dhaka, Bangladesh, hal ini merujuk pada catatan seoraang pedagang Arab bernama Sulaiman pada Abad IX [1]. Sementara Marco Polo pada tahun 1298 Masehi dalam bukunya The Travel of Marco Polo  menggambarkan kain muslin itu dibuat di Mosul, (Irak) dan dijual oleh pedagang yang disebut "Musolini".[2]  Uniknya, masyarakat Sulawesi Selatan lebih dulu mengenal dan mengenakan jenis kain ini dibanding masyarakat Eropa, yang baru mengenalnya para XVII dan baru popular di Prancis pada abad XVIII.

Dalam perkembangan berikutnya, kain muslin juga digunakan untuk kain kasa/perban dalam dunia kedokteran, bahan layar dalam dunia pelayaran, juga dipergunakan dalam dunia pertunjukan, sinematografi, fotografi sebagai latar atau alat bantu penimbul efek cahaya. Didaratan Eropa, kain muslin juga dipakai sebagai lapisan kain selimut serta lapisan gaun para bangsawan Eropa.

KENAPA DISEBUT WAJU TOKKO
Pada awal munculnya, baju tokko tidaklah lebih dari baju tipis dan longgar sebagaimana karakter kain Muslin. Tampilannya masih transparan sehingga masih menampakkan payudara, pusar dan lekuk tubuh pemakainya. Hal ini diperkuat oleh James Brooke dalam bukunya Narrative of Events, sebagaimna dikutip Christian Pelras dalam Manusia Bugis, mengatakan ;

    "Perempuan [Bugis] mengenakan pakaian sederhana... Sehelai sarung [menutupi pinggang] hingga kaki dan baju tipis longgar dari kain muslin (kasa), memperlihatkan payudara dan leluk-lekuk dada."


Meski dia awal abad 19, Don Lopez comte de Paris, seorang pembantu setia Gubernur Jenderal Deandels telah memperkenalkan penutup dada yang dalam bahasa Indonesia disebut “Kutang”[3], pada perempuan Jawa, namun sayang kutang ini belum popular di Tanah Bugis. Sehingga tidak janggal  jika pada tahun 1930-an, masih banyak ditemui perempuan Bugis memakain Baju Tokko tanpa memakai penutup dada.

Sejatinya, dalam adat Bugis, setiap warna baju Tokko yang dipakai oleh perempuan Bugis menunjukkan usia serta martabat pemakainya. Kata “Waju Tokko”, menurut beberapa pau-pau rikadoan[4] berasal dari kata “pokko”, hal ini menilik pada bentuk baju tersebut yang berbentuk baju kurung tanpa jahitan, bagian bawah terbuka, bagian atas berlubang seukuran kepala tanpa kerah. Bagian depan tidak memiliki kancing atau perekat lainnya, pada ujung atas sebelah kiri dan kanan dibuat lubang selebar satu jengkal. Lubang tersebut berfungsi sebagai lubang keluar masuknya lengan. Atas dasar inilah maka baju ini kemudian disebut sebagai baju pokko, baju yang tidak memiliki lengan. Pada perkembengan berikutnya kata pokko berubah menjadi tokko. Penulis tidak menyetujui anggapan ini, pelafazan kata pokko (Buntung) dengan huruf vocal “O” yang lebih panjang sehingga berbunyi “pokkooo”. Sangat berbeda dengan pelafazan kata tokko dengan vocal “O” yang pendek yakni tokko. Di Makassar, kata tokko disebut-sebut berasal dari kata ni tokko (diberi kanji). Hal ini mengingat salaha satu model perawatan baju tokko,  dicuci dan dibaluri dengan tepung kanji. Pada kenyataannya, memang susah membedakan antara Baju Tokko Bugis dan Makassar, mungkin memang tak ada perbedaan, dikarenakan eratnya budaya kekerabatan Suku Bugis dan Suku Makassar, dua suku besar yang mendiami daratan Sulawesi Selatan menjadikan banyak pihak tidak mampu memisahkan produk-produk budaya masing-masing suku. Selain mirip, kedua suku ini juga memiliki asal-usul yang sama sebagaimana diceritakan dalam Epos Lagaligo, yakni berasal dari To Manurung (sosok yang turun dari langit).
Dara Manis Berbaju Bodo // Koleksi Pribadi
Dalam versi lain, disebutkan kata tokko berasal dari kata takku, kata takkusendiri adalah ungkapan untuk menyatakan starata sosial bangsawan. Hal ini menilik pada kata Maddara Takku, yang menunjukkan seseorang yang memiliki darah keturunan bangsawan. Secara harafiah, waju tokko bisa diartikan sebagai baju untuk kaum bangsawan. Jika, kata tokko adalah hasil perubahan dari pelafazan kata takku, maka penulis menduga hal tersebut cukup mendekati kebenaran.

Pelafazan kata takku dan tokko tidaklah jauh berbeda, meski huruf “A dan U” berubah menjadi “O”. Anggapan penulis ini, didukung juga dengan aturan pemakaian baju tokko yang hanya boleh dipakai oleh kaum bangsawan. Aturan dan latar belakang aturan tersebut akan dibahas pada bagian akhir tulisan ini. Selain itu, bahan untuk membuat baju tokko dari serat sutera alam, membuat baju ini tidak mungkin digunakan oleh rakyat biasa, mengingat bahan tersebut sangatlah mahal pada jamannya, bahkan hingga saat ini. Ini berbeda dengan baju tokko yang ada saat ini yang tidak lagi menggunakan serat sutera, melainkan serat kain katun, atau sutera sintetis.

Secara harafiah baju tokko dapat diartikan sebagai baju yang mengambarkan derajat atau status darah yang memakainya. Atas dasar inilah, maka baju bodo hanya boleh digunakan oleh kaum bangsawan. Kapankah baju bodo ini dibuat ?. Inilah yang mungkin perlu penelusuran lebih dalam. Hingga saat ini penulis belum menemukan literatur tentang hal tersebut.

WARNA DAN ATURAN PAKAI BAJU TOKKO.

Baju tokko, diawal kemunculannya hanya menggunakan warna tertentu, melalui proses pewarnaan warna alam. Seperti Warna Kuning Gading dari Tanaman Kunyit (Bugis : Ongnyi, Latin : Curcuma domestica ) dan Temulawak ( Bugis : Temmu, Latin: Curcuma xanthorrhiza), Jingga dari Bua Gore’[5], Merah darah dari Akar Pohon Mengkudu (Bugis ; Lase’ Tedong Senngi, Latin : Morinda citrifolia)  dan daun pohon Jati (Bugis ; Jati, Latin : Tectona grandis), warna biru dari tanaman Indigofera (Bugis :Oca-oca pakkampi, Latin : Genus Indigofera). Selain itu masih adalagi warna hitam, lebih tepatnya warna abu-abu, bukan warna hitam seperti yang ada saat ini. Warna ini diperoleh dari arang hasil pembakaran antara jerami padi (Bugis : Darame Ase, Latin : Oryza sativa), mayang kelapa (Bugis :Majang Kaluku, Latin : Cocos nucifera L) dan tempurung bakal buah lontar (Bugis : Bua Taa, Latin :Borassus flabellifer ). Agar tidak luntur, baju tokko yang telah diwarnai selanjutnya direndam dengan air Jeruk Nipis (Bugis : Lemo Kopasa, Latin : Citrus Aurantifolia Swingle). Sementara warna Ungu dari Tanaman daun kemummuu[6]. Penerapan warna  baju tokko  tersebut  dalam  kehidupan sehari-hari memiliki aturan seperti ;
  • Anak dibawah 10 tahun memakai Waju Tokko yang disebut Waju Pella-Pella, berwarna Kuning Gading. Disebut waju pella-pella (kupu-kupu), adalah sebagai pengambaran terhadap dunia anak kecil yang perlu keriangan. Warna kuning gading adalah analogi agar sang anak cepat matang dalam menghadapi tantangan hidup. Berasal dari kata maridi (kuning gading), yang jika ditulis dalam aksara lontara Bugis, bisa juga dibaca menjadi Mariddi, yang berarti matang.
  • Umur 10 s/d 14 tahun memakai Waju Tokko, berwarna jingga atau merah muda. Pemilihan warna Jingga dan merah muda dipilih karena warna ini adalah warna yang dianggap paling mendekati pada warna merah darah atau merah tua, warna yang dipakai oleh mereka yang sudah menikah. Selain itu, warna merah muda yang dalam bahasa Bugis disebut Bakko, adalah representasi dari kata Bakkaa, yang berarti setengah matang.
  • Umur 14 s/d 17 tahun, masih memakai Waju Tokko berwarna jingga atau merah muda, tapi dibuat berlapis bersusun dua, hal ini dikarenakan sang gadis sudah mulai tumbuh payudaranya. Juga dipakai oleh mereka yang sudah menikah tapi belum memiliki anak.
  • Umur 17 s/d 25 tahun, Warna merah darah, berlapis dan bersusun. Dipakai oleh perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak, berasal dari filosofi, bahwa sang perempuan tadi dianggap sudah mengeluarkan darah dari rahimnya yang berwarna merah tua/merah darah.
  • Umur 25 s/d 40 tahun, memakai Waju Tokko warna hitam.

Seperti diutarakan diatas, adanya perbedaan dalam starata ke-bangsawan-an menjadikan adanya aturan pemakaian baju tokko tersebut. Maka dikenallah Wari (sistem protokoler kerajaan) dan Adeq(adat istiadat) yang mengatur cara penggunaan dan baju tokko tadi. Dalam hal warna masih ada aturan lain, yakni :
  • Baju Tokko berwarna putih digunakan oleh para inang/pengasuh raja atau para dukun atau bissu. Para bissu memiliki titisan darah berwarna putih, inilah yang mengantarkan mereka mampu menjadi penghubung Botting Langi (khayangan), peretiwi (dunia nyata), dan ale kawa (dunia roh). Mereka dipercaya tidak memiliki alat kelamin, sehingga terlepas dari kepentingan syahwat. Dalam kepercayaan Bugis tradisional, Air susu ibu kandung sang putra Mahkota (permaisuri) dianggap aib untuk dikeluarkan. Air susu yang keluar dari tubuh sang ibu tidaklah berbeda dengan darah yang keluar bersama ari-ari yang keluar saat melahirkan. Untuk memenuhi asupan bagi sang bayi (putra mahkota), maka dipilihlah seseorang untuk menjadi indo pasusu (inang) bagi sang putra mahkota. Indo pasusu yang diangkat biasanya tidak memiliki pertalian darah dengan sang putra mahkota. Sehingga air susunya dianggap suci, sesungguhnya seorang indo pasusu memiliki posisi yang sangat terhormat dalam starata sosial Bugis. Berbeda dengan anggapan orang bugis saat ini yang menganggap seorang indo pasusu tidak lebih dari seorang ata (budak).
  • Para bangsawan dan keturunannya yang dalam bahasa Bugis disebut maddara takku (berdarah bangsawan), adalah alasan kenapa Baju Tokko warna hijau hanya boleh dipakai oleh para putri-putri raja. Warna hijau, dalam bahasa Bugis disebut Kudara¸ berasal dari kata na-takku dara-na. Ungkapan ini kemudian berubah menjadi Ku-dara, secara harafiah dapat diartikan bahwa mereka yang memakai baju bodo warna kudara, adalah mereka yang menjunjung tinggi harkat kebangsawanannya.
  • Pemakaian warna Ungu (kemummu) oleh para janda, menilik pada arti ganda dari kata kemumummu itu sendiri. Selain diartikan warna ungu, juga dapat diartikan lebamnya bagian tubuh yang terkena pukulan atau benturan benda keras. Disinilah muncul anggapan bahwa bibir vagina sang janda tidaklah lagi berwarna merah, melainkan cenderung berwarna ungu. Selain itu, anggapan bahwa seorang janda sebelumnya sudah dipakai atau dijamah (majemmu) oleh mantan suaminya. Kata jemmu ini kemudian dipersonifikasikan dengan kata kemummmu. Adalah alasan kenapa warna kemummu diperuntukkan untuk janda. Dalam pranata sosial masyarakat Bugis jaman dahulu, menikah dengan seorang janda, adalah sebuah aib.
Modifikasi Baju Bodo
Foto : Koleksi Dina Syarif

WAJU TOKKO DAN AGAMA ISLAM

Kata Baju Tokko dan Baju Bodo, adalah dua nama berbeda untuk merujuk pada Baju Adat Perempuan Bugis-Makassar Sulawesi Selatan. Sama halnya dengan kata Tokko yang berarti Pendek, kata Bodo dalam bahasa Makassar juga berarti pendek. Sebagaimana disinggun pada awal tulisan ini, kata tersebut dipakai karena merujuk pada model lengan baju itu sendiri yang sangat pendek, bahkan bisa dikatakan tidak berlengan sama sekali. Dalam perkembangan kata Baju Bodo lebih cepat, lebih mudah diserap dan lebih mudah diucapkan oleh orang kebanyakan, sehingga dalam khasanah Budaya Indonesia kata Baju Bodo lebih dikenal dibanding dengan kata Baju Tokko. Lalu, bagaimana persinggungan antar Baju tokko yang pendek dan tipis dengan konsep menutup aurat dalam agama Islam?

Meski ajaran agama Islam mulai menyebar dan dipelajari masyarakat di Sulawesi sejak Abad ke-V, namun secara resmi baru diterima sebagai agama kerajaan pada abad XVII. Akultarasi ajaran Islam dengan kebudayaan lokal Bugis selanjutnya bermuara pada ditetapkan 4 (empat) tatanan kehidupan bermasyarakat yakni Ade’ (Adat istiadat), Rapang (Pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan), Wari’ (Sitem protokoler kerajaan), dan Bicara (Sistem hukum). Kemudian bertambah satu sendi lagi, yakni Sara’(syariah Islam) setelah Islam resmi diterima sebagai agama kerajaan.
Pergerakan  DII/TII di Sulawesi juga berpengaruh besar pada perkembangan baju bodo saat itu. Ketatnya larangan kegiatan dan pesta adat oleh DII/TII, membuat baju bodo menjadi asing dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan.

Larangan ini muncul mengingat penerapan syariat islam yang diusung oleh pergeraka DII/TII. Tak pelak, pelarangan ini menjadi isu besar dikalangan para pelaku adat dan agamawan. Dalam ajaran agama Islam ditegaskan bahwa, pakaian yang dibenarkan adalah pakaian yang menutup aurat, tidak menampakkan lekuk tubuh dan rona kulit selain telapak tangan dan wajah. Kontroversi ini kemudian disikapi bijak oleh kerajaan Gowa, hingga muncullah modifikasi baju bodo yang dikenal Baju Labbu (serupa dengan baju bodo, tetapi lebih tebal, gombrang, panjang hingga lutut). Perlahan, baju tokko yang semula tipis berubah menjadi lebih tebal dan terkesan kaku. Jika pada awalnya memakai kain muslin (kain sejenis kasa), berikutnya baju bodo dibuat dengan bahan benang sutera.

Bagi golongan agamawan, adanya baju labbu ini adalah solusi terbaik, tidak melanggar hukum Islam dan juga tidak menghilangkan nilai adat. Bagi golongan adat, hal ini dianggap sebagai pelanggaran nilai-nilai warisan leluhur. Tentu tidak ada yang benar juga tidak ada yang salah. Yang patut digaris bawahi, bukankah pakaian adat adalah hasil konstruksi  manusia sesuai dengan jamannya masing. Maka, saat bermunculan baju ­bodo dengan berbagai model dan variasi, seperti yang terjadi saat ini, itulah bentuk konstruksi manusia Bugis-Makassar saat ini. Kombinasi dan variasi baju bodo yang ada saat ini, terbukti mampu diterima oleh berbagai kalangan dan lapisan masyarakat. Baju bodo tidak lagi sekedar pakaian adat, melainkan dapat dipakai diacara resmi, bahkan busana kerja. Selamat berbajubodo, baju bodo sederajat dengan baju kebaya, dua-duanya adalah busana asli Indonesia, busana Nasional.


DAFTAR PUSTAKA
  1. Abdullah, Hamid, 1985, Manusia Bugis Makassar, Suatu tinjauan Historis terhadap pola tingkah laku dan pandangan hidup manusia Bugis – Makassar, Jakarta, Intidayu Press
  2. Aminah, P.Hamzah, 1984, Monografi Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang, Proyek PEMDA TK.I Sul-Sel
  3. Andi Nurnaga, N, Dra., 2003, Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis-Makassar, Telaga Zamsam Makassar
  4. Andi Zainal Abidin, Prof. Dr., 1999, Capita Selecta Kebudayaan Sul-Sel, Makassar, UNHAS Press
  5. Anwar, Idwar., 2007, Ensiklopedi Kebudayaan Luwu, Makassar, Komunitas Kampung Sawerigading
  6. Lamallongeng, Asmat Riady., 2007, Dinamika Perkawinan Adat dalam Masyarakat Bugis Bone, Bone, Penanggung Jawab Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kab. Bone.
  7. Latif, Halilintar, 2005, Kepercayaan Asli Bugis di Sulawesi Selatan, sebuh kajian antropologi Budaya. Laporan Penelitian Desertasi, tidak dipublikasikan
  8. Mame, A. Rahim, ___, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sul-Sel, Ujung Pandang, Proyek dan Pencatatan Kebudayaan Daerah
  9. Mappangara, Suriadi., 2006, Glosarium Sulawesi Selatan dan Barat, Ujung Pandang, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ujung Pandang.
  10. Mattulada, 1976, Agama Islam di Sulawesi Selatan, Ujung Pandang, Fak. Sastra UNHAS
  11. Mukhlis (Ed.), 1986,  Dinamika Bugis Makassar, Ujung Pandang, PLPIIS-YIIS
  12. Nonci, S.Pd, 2002, Upacara Adat Istiadat Masyarakat Bugis, Makassar, Telaga Zamsam Makassar
  13. Pelras, Christian., 2006, Manusia Bugis, Jakarta, Nalar,
  14. Said DM, M. Ide., 1977, Kamus Bahasa Bugis – Indonesia, Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD
  15. Sani, M.Yamin., dkk., 1990, Bicaranna Mula Timpaengngi Sidenreng Najaji Engka Wanua Ri Sidenreng, Asal-usul “Kerajaan” Sidenreng dan Sistem Pemerintahannya, Ujung Pandang, Proyek Departemen P & K, Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.
  16. Syamsuddin Arifin., Kol, S.Pd., 2003, Beberapa Istilah Bugis dan Pengertiannya, tidak dipublikasikan

CATATAN KAKI :

[1] Ahmad, S. (Juli-September 2005), "Rise and Decline Ekonomi Bengal", Asian Affairs 27 (3): 5-26

[2] The Travels of Marco Polo: The Complete Yule-Cordier Edition Oleh Marco Polo, Sir Henry Yule, Henri Cordier, 1993.

[3] Bahasa Prancis yang berarti Bagian Berharga

[4] Sejenis cerita dan informasi turun temurun dalam adat Bugis yang tidak jelas asal-usulnya.

[5] Nama Bugis, tanaman perdu setinggi 50-60 Cm, bercabang merambat mirip Melati, dengan buah sebesar buah kedongong, mulus dan berwarna merah. Hingga tulisan ini diturunkan, penulis belum menemukan nama Indonesia dan nama latinnya.

[6] Nama Bugis, tanaman berbatang setinggi 2-3 Meter, bercabang, kulit pohon warna Putih, dengan daun berwarna Ungu. Hingga tulisan ini diturunkan, penulis belum menemukan nama Indonesia dan nama latinnya.

By suryadin laoddang

Rabu, 18 April 2018

Kumpulan PEPATAH Bugis - Sastra klasik






1. Adé’é temmakké-anak’ temmakké-épo. 
Artinya: “adat tak mengenal anak, tak mengenal cucu”. Dalam menjalankan norma-norma adat tak boleh pilih kasih (tak pandang bulu). Misalnya, anak sendiri jelas-jelas melakukan pelanggaran harus dikenakan sanksi (hukuman) sesuai ketentuan adat yang berlaku. 



2. Ajak mapoloi olona tauwé.
Artinya: “jangan memotong (mengambil) hak orang lain”. Memperjuangkan kehidupan adalah wajar, tetapi jangan menjadikan perjuangan itu pertarungan kekerasan, saling merampas atau menghalangi rezeki orang lain. 

3. Aja’ mumatebek ada, apak iyatu adaé maéga bettawanna. Muatutuiwi lilamu, apak iya lilaé paweré-weré.
Artinya: “Jangan banyak bicara, sebab bicara itu banyak artinya. Jaga lidahmu, sebab lidah itu sering mengiris”. 

4. Aju maluruémi riala paréwa bola.
Artinya: “hanyalah kayu yang lurus dijadikan ramuan rumah”. Di sini rumah sebagai perlambang dari pemimpin yang melindungi rakyat. Hanya orang yang memiliki sifat lurus (jujur) yang layak dijadikan pemimpin, agar yang bersangkutan dapat menjalankan fungsi perannya dengan baik. 



5. Alai cedde’e risesena engkai mappedeceng, sampeanngi maegae risesena engkai maega makkasolang .
Artinya: “ambil yang sedikit jika yang sedikit itu mendatangkan kebaikan, dan tolak yang banyak apabila yang banyak itu mendatangkan kebinasaan”. Mengambil sesuatu dari tempatnya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, termasuk perbuatan mappasitinaja (kepatutan). Kewajiban yang dibaktikan memperoleh hak yang sepadan adalah suatu perlakuan yang patut. Banyak atau sedikit tidak dipersoalkan oleh kepatutan, kepantasan, dan kelayakan.



6. Balanca manemmui waramparammu, abbeneng anemmui, iakia aja’ mupalaowi moodala’mu enrenngé bagelabamu. 
Artinya: “boleh engkau belanjakan harta bendamu, dan pakai untuk berbini, namun janganlah sampai kamu menghabiskan modal dan labamu”. Peringatan pada pedagang (pengusaha) agar dalam menggunakan harta tidak berlebihan sehingga kehabisan modal dan membangkrutkan



7. Dék nalabu essoé ri tenngana bitaraé.
Artinya: “tak akan tenggelam matahari di tengah langit”. Manusia tidak akan mati sebelum takdir ajalnya sampai. Oleh karena itu keraguan harus disingkirkan dalam menghadapi segala tantangan hidup. 



8. Duwa laleng tempekding riola, iyanaritu lalenna passarié enrenngé lalenna paggollaé.
Artinya: “dua cara tak dapat ditiru, ialah cara penyadap enau dan cara pembuat gula merah”. Jalan yang ditempuh penyadap enau tak tentu, kadang dari pohon ke pohon lain melalui pelepah atau semak belukar, sehingga dikiaskan sebagai menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Pembuat gula merah umumnya tak menghiraukan kebersihan, lantaran nnya itu tak diketahui orang. Kedua sikap di atas tak pantas ditiru karena mempunyai itikad kurang. 



9. Iapa nakullé taué mabbaina narékko naulléni magguli-lingiwi dapurenngé wékka pitu .
Artinya: “apabila seseorang ingin beristeri, harus sanggup mengelilingi dapur tujuh kali”. Di sini dapur merupakan perlambang dari masalah pokok dalam kehidupan rumah tangga. Sedangkan tujuh kali merupakan padanan terhadap jumlah hari yang juga tujuh (Senin s/d Minggu). Maksudnya, sebelum berumah tangga supaya memiliki kesanggupan memikul tanggung jawab menghidupi keluarga setiap hari.



10. Iyya nanigesara’ ada’ ‘biyasana buttaya tammattikamo balloka, tanaikatonganngamo jukuka, annyalatongi aséya. 
Artinya: “Jika dirusak adat kebiasaan negeri maka tuak berhenti menitik, ikan menghilang pula, dan padi pun tidak menjadi”. Jikalau adat dilanggar berarti melanggar kehidupan manusia, yang akibatnya bukan hanya dirasakan oleh yang bersangkutan, tetapi juga oleh segenap anggota masyarakat, binatang tumbuh-tumbuhan dan alam semesta.


11. Jagaiwi balimmu siseng mualitutui ranemmu wekka seppulo nasaba rangemmu ritu biasa mancaji bali.
Artinya: “jagalah lawanmu sekali dan jagalah sekutumu sepuluh kali lipat sebab sekutu itu bisa menjadi lawan”. Terhadap lawan sikap kita sudah jelas, namun yang harus lebih diwaspadai jangan sampai ada kawan berkhianat. Sebab, dengan demikian lawan jadi bertambah, dan membuat posisi rentan karena yang bersangkutan mengetahui rahasia (kelemahan) kita.

12. Ka-antu jekkongan kammai batu nibuanga naung rilikua; na-antu lambu suka kammai bulo ammawanga ri je’néka, nuassakangi poko’na ammumbai appa’na, nuasakangi appa’na ammumbai poko’na.
Artinya: “kecurangan itu sama dengan batu yang dibuang ke dalam lubuk; sedangkan kejujuran laksana bambu yang terapung di air, engkau tekan pangkalnya maka ujungnya timbul, engkau tekan ujungnya maka pangkalnya timbul”. Kecurangan mudah disembunyikan, namun kejujuran akan senantiasa tampak dan muncul ke permukaan.

14. Lebbik-i cau-caurenngé napellorenngé.

Artinya: “lebih baik yang sering kalah daripada yang pengecut”. Orang yang sering kalah, masih memiliki semangat juang meskipun lemah dalam menghadapi tantangan. Sedangkan pengecut, samasekali tak memiliki keberanian ataupun semangat untuk berusaha menghadapi tantangan.

15. Malai bukurupa ricaué, mappalimbang ri majé ripanganroé.
Artinya: “memalukan kalau dikalahkan, mematikan kalau ditaklukkan”. Dikalahkan dalam perjuangan hidup karena keadaan memaksa memang memalukan. Sedangkan takluk, sama halnya menyerahkan seluruh harga diri, dan orang yang tak memiliki harga diri sama halnya mati.

16. Mattulu’ perajo téppéttu siranrang, padapi mapééttu iya.

Artinya: “terjalin laksana tali pengikat batang bajak pada luku yang selalu bertautan, tak akan putus sebelum putus ketiganya”. Perlambang dari eratnya persahabatan. Di mana masing-masing saling mempererat, memperkuat, sehingga tidak putus jalin kelingnya. Apabila putus satu, maka semua sama-sama putus.

17. Massésa panga, temmasésa api, massésa api temmasésa botoreng.
Artinya: “bersisa pencuri tak bersisa api, bersisa api tak bersisa penjudi”. Betapa pun pintarnya pencuri tak mampu mengambil semua barang (misalnya mengambil rumah atau tanah). Seberapa besarnya kebakaran hanya mampu menghancurkan barang-barang (misalnya tanah masih utuh). Akan tetapi seorang penjudi dapat menghabiskan seluruh barang miliknya (termasuk tanah yang tak dapat dicuri dan terbakar) dalam waktu singkat.

18. Mau maéga pabbiséna nabonngo ponglopinna téa wa’ nalureng.
Artinya: “biar banyak pendayungnya, tetapi bodoh juru mudinya”. Kebahagiaan rumah tangga ditentukan oleh banyak hal, tetapi yang paling menentukan adalah kecakapan dan rasa tanggung jawab kepala rumah tangga itu sendiri.

19. Naiya riyasenngé pannawanawa, mapaccingi riatinna, sappai rinawanawanna, nalolongenngi sininna adaé enrenngé gau’ é napoléié ja’ enrenngé napoléié décéng.

Artinya: “cendekiawan (pannawanawa) ialah orang yang ikhlas, yang pikirannya selalu mencari-cari sampai dia menemukan pemecahan persoalan yang dihadapi, demikian pula perbuatan yang menjadi sumber bencana dan sumber kebajikan”.

20. Naiya tau malempuk-é manguruk manak-i tau sugi-é.

Artinya: “orang yang jujur sewarisan dengan orang kaya”. Orang jujur tidaklah sulit memperoleh kepercayaan dari orang kaya karena kejujurannya.

21. Naiya accae ripatoppoki jékko, aggati aliri, narékko téyai maredduk, mapoloi.
Artinya: “kepandaian yang disertai kecurangan ibarat tiang rumah, kalau tidak tercerabut, ia akan patah”. Di Bugis, tiang rumah dihubungkan satu dengan yang lain menggunakn pasak. Jika pasak itu bengkok sulit masuk ke dalam lubang tiang, dan patah kalau dipaksakan. Kias terhadap orang pandai tetapi tidak jujur. Ilmunya tak akan mendatangkan kebaikan (berkah), bahkan dapat membawa bencana (malapetaka).

22. Narékko maélokko tikkeng séuwa olokolok sappak-i batélana. Narékko sappakko dallék sappak-i maégana batéla tau .
Artinya: “kalau ingin menangkap seekor binatang, carilah jejaknya. Kalau mau mencari rezeki, carilah di mana banyak jejak manusia”. Pada hakikatnya, manusialah yang menjadi pengantar rezeki, sehingga di mana banyak manusia akan ditemui banyak rezeki.

23. Narékko téyako risarompéngi lipak, aja mutudang ri wiring laleng.
Artinya: “kalau kamu tak sudi terserempet sarung, jangan duduk di tepi jalan”. Duduk di tepi jalan dianggap perbuatan yang tak wajar, karena banyak orang berlalu-lalang. Mengandung nasihat agar menjauhi segala sesuatu yang berbahaya supaya selamat.

24. Narékko maélokko madécéng ri jama-jamammu, attanngakko ri batélak-é. Ajak muolai batélak sigaru-garué, tutunngi batélak makessinngé tumpukna.
Artinya: “kalau mau berhasil dalam usaha atau pekerjaanmu, amatilah jejak-jejak. Jangan mengikuti jejak yang simpang siur, tetapi ikutlah jejak yang baik urutannya” Jejak yang simpang siur adalah jejak orang yang tentu arah tujuan. Jejak yang baik urutannya adalah jejak orang yang berhasil dalam kehidupan. Sukses tidak dapat diraih dengan semangat saja, melainkan harus dibarengi adanya tujuan yang pasti dan jalan yang benar.

25. Olakku kuassukeki, olakmu muassukeki
Artinya: “takaranku kujadikan ukuran, takaranmu kamu jadikan ukuran”. Setiap orang mempunyai prinsip atau landasan berpikir sendiri-sendiri dalam memandang sesuatu. Oleh karena itu harus ada saling pengertian atau tenggang rasa supaya tak terjadi pertikaian.

26. Paddioloiwi niak madécéng ri temmakdupana iyamanenna.


Artinya: “Dahuluilah dengan niat baik sebelum melaksanakan pekerjaan”. Dengan adanya niat baik yang bersangkutan akan tertuntun ke jalan yang benar. Berniat baik saja sudah merupakan kebaikan, apalagi kalau dilaksanakan. 



27. Pauno sirié, mappalétté ri pammasareng essé babuaé.
Artinya: “malu mengakibatkan maut, iba hati mengantar ke liang”. Rasa malu yang tak terkendali dapat mengundang malapateka (mengundang maut). Perasaan iba yang berlebihan juga dapat membawa kesengsaraan dan mencelakakan (menyebabkan kematian).



28. Pala uragaé, tebakké tongenngé teccau maégaé, tessiéwa situlaé.



Artinya: “berhasil tipu daya, tak akan musnah kebenaran, tak akan kalah yang banyak, tak akan berlawanan yang berpantangan”. Tipu daya mungkin berhasil untuk sementara, tetapi kebenaran tidak termusnahkan. Kebenaran akan tetap hidup bersinar terus dalam kalbu manusia karena ia datang dari sumber yang hakiki, yaitu Tuhan YME.



29. Pura babbara’ sompekku, pura tangkisi’ golikku, ulebbirenni tellenngé nato’walié.



Artinya: “layarku sudah terkembang, kemudiku sudah terpasang, lebih baik tenggelam daripada kembali”. Semangat yang mengandung makna kehati-hatian dan didasarkan atas acca, yang berarti mendahulukan pertimbangan yang waras dan matang. Pelaut Bugis tak akan berlayar sebelum tiang dan guling serta tali-temali diperiksa cermat dan teliti. Di samping juga memperhatikan waktu dan musim yang tepat untuk berlayar. Setelah segala sesuatunya meyakinkan, barulah berlayar atas dasar kata putus seperti di atas.



30. Rebba sipatokkong, mali siparappé, sirui ménré tessirui nok, malilu sipakainge, maingeppi mupaja.



Artinya: “rebah saling menegakkan, hanyut saling mendamparkan, saling menarik ke atas dan tidak saling menekan ke bawah, terlupa saling mengingatkan, nanti sadar atau tertolong barulah berhenti”. Mengandung pesan agar orang selalu berpijak dengan teguh dan berdiri kokoh dalam mengarungi kehidupan. Juga harus tolong-menolong ketika menghadapi rintangan, dan saling mengingatkan untuk menuju ke jalan yang benar. Jika semua itu dilaksanakan akan terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera.

Anda bebas menyalin ulang teks ini untuk disebarkan dijadikan bahan pembelajaran bagi siapapun. 

Karya : Suryadin laoddang

Legenda Suku Oni - Bone, Sulawesi Selatan


Di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan, telah ditemukan bentuk kehidupan suku primitif yang disebut Suku Oni. Suku-suku primitif yang dijuluki Oni ini, di temukan tinggal di gua-gua yang terletak di daerah pegunungan wilayah tersebut. Tempat ditemukannya kehidupan Suku Oni ini adalah sebuah desa di dusun Dekko Mappesangka Ponre kabupaten Bone. Dari Ibu Kota Watampone pergi ke lokasi ini sekitar 60 km dengan jarak berjalan kaki ditambah sekitar 3 mil. Suku Oni hidup di gua-gua dikawasan yang luas.
Menurut saksi mata, tinggi rata-rata suku Oni hanya sampai 70 Cm. Dengan fisik seperti manusia dengan wajah keriput terkesan seperti orang tua. Pakaian sehari-hari mereka terbuat dari kulit anyaman kayu dan dibentuk menjadi pakaian. untuk kebutuhan sehari-hari, mereka hanya bergantung pada buah-buahan yang berada di hutan di sekitar pemukiman mereka.
Ahmad Lukman Mappesangka mantan Kepala Desa


mengaku jika ia telah memasuki desa dimana Suku Oni berdiam. “Ketika terpilih sebagai kepala desa untuk pertama kalinya sekitar 15 tahun yang lalu, saya diundang oleh kepala sukunya untuk masuk ke dalam wilayahnya Untuk mencapai tempat mereka, kami harus berjalan sekitar 3 mil.. Untuk memasuki gua hunian suku, harus dilakukan oleh seseorang bertubuh kecil untuk bisa melewati mulut gua yang sangat sempit. Bagian dalam gua itu sangat luas dengan bentuknya yang bertingkat “jelas Ahmad Lukman.
Di Gua suku Oni, ada banyak hal-hal menakjubkan. “Di dalam gua, ada kursi yang terbuat dari batu,  furnitur Rumah Tangga seperti piring, teko, cangkir dan mangkuk, juga ada saja semua jenis barang unik yang alami bahkan ada berlapis emas. Piringnya semua terbuat dari keramik antik.” tambah Ahmad Lukman lagi.
Selain perabotan rumah, banyak hal yang unik dilihat oleh Lukman di dalam gua suku primitif ini. Sayangnya, bahasa yang diungkapkan oleh bahasa Oni tidak bisa dimengerti. “Pada waktu itu saya hanya menggunakan bahasa isyarat karena saya tidak mengerti dengan bahasa mereka. Saya diundang datang ke mereka hanya satu kali, saya pikir itu adalah bentuk penghargaan bagi saya sebagai kepala desa baru di wilayah mereka “. kata Lukman.
Tidak hanya Ahmad Lukman yang pernah diundang untuk mengunjungi suku Oni tetapi banyak orang yang diundang berdasarkan pilihan mereka. “Orang tidak bisa pergi ke sana jika berniat jahat. Ketika bertindak jahat, segera akan mendapatkan masalah. Siapa saja yang ingin mengunjungi suku Oni, harus menggunakan jasa seorang peramal.. Sayangnya saat ini pawang sudah pindah dan sekarang tinggal di Kalimantan. “kata Ahmad Lukman.
Bagi penduduk pegunungan pesisir yang termasuk dalam area peta kehutanan wilayah Ponre, tidak aneh jika mendengar cerita tentang Suku Oni. hampir semua penduduk di kawasan  Cinennung Palakka, penduduk pegunungan pesisir Cina di wilayah pantai. termasuk orang-orang yang tinggal di sekitar Sumpang labbu kabupaten Bengo sudah mengetahui bahkan ada yang pernah melihat hanya saja mereka tidak bisa berkomunikasi.
Menurut warga yang tinggal di sekitar desa Palettee meyakini bahwa suku Oni ​​adalah makhluk setengah siluman. Tapi ada juga yang menganggapnya sebagai mahluk biasa mirip dengan manusia. Dari cerita mantan Kepala desa, Ahmad Lukman Mappesangka di Kecamatan Ponre yang telah berakhir masa jabatannya mengatakan bahwa, Suku Oni awalnya sangat baik dan ingin berbaur dengan penduduk desa Dekko. “Jaman dulu, ada waktu jika orang ingin mengadakan pesta pernikahan, mereka selalu meminjam barang furnitur suku Oni Seperti piring dan mangkuk tapi tidak pernah dikembalikan, sehingga hubungan tidak berlanjut.. Masalahnya adalah bahwa jika orang dipinjamkan, banyak yang tidak mengembalikan, karena pada umumnya terbuat dari emas yang berlapis “kata Lukman. Ditambahkan lagi, sebenarnya orang mudah bergaul dengan suku tersebut tapi menjadi sulit karena suku Oni ​​tidak pernah lagi terlihat, diduga mereka sudah tidak percaya lagi dengan masyarakat sekitar.  
Suku Oni merupakan pribumi asli daratan Sulawesi Selatan terutama di Kabupaten Bone. Kabarnya, Suku Oni ini dahulunya digunakan sebagai sumber tenaga kerja pembangunan benteng, irigasi dan bangunan lainnya pada jaman kerajaan. Suku Oni sangat lincah dan kuat. mereka juga dijadikan sebagai mata-mata oleh raja Bone Arung  Palakka ketika perang melawan Sultan Hasanuddin raja Gowa dan Belanda “kata Lukman.


Sekarang untuk memasuki lahan mereka saja  pertama harus melalui persetujuan mereka. Seorang mediator juga harus mendampingi yang telah ditunjuk dan dipercaya oleh mereka. “Jika mereka tidak setuju, maka tamu yang ingin mengunjungi akan ditolak. Para tamu yang ingin diterima harus jujur ​​dan tidak punya niat jahat.” Jelas Ahmad Lukman.
Kondisi itulah mengapa suku Oni sangat sulit ditemui. Seperti yang dialami oleh kepala polisi AKBP Zarialdi SH saat mereka ingin bertemu dengan suku tersebut. “Aku ingin mendengar cerita dari Kapolsek saya yang bertugas di Ponre Jadi saya ingin membuktikan cerita tersebut. Saya membawa peralatan dengan pawangnya .. Kami juga harus membawa barang-barang seperti Pisang raja, Jagung, daun sirih, karena itu tawaran yang dibutuhkan. Ketika tiba di lokasi, kami tidak membawa tali untuk turun memasuki gua mereka. Setelah kami mencoba untuk menemukan tali dan kembali ke lokasi, gua sudah dalam keadaan gelap kendati di luar masih terang. Mungkin kita tidak lagi ingin diterima karena mereka belum siap, Saya harus berjalan cukup jauh untuk ini …bahkan kaki saya sampai lecet “jelas Kepala Polisi itu.
Terakhir 3 tahun ini, keberadaan suku Oni ​​sering terlihat oleh penduduk desa Palette. Mereka sering muncul di malam hari hanya untuk mengambil pasokan air. Warga sekitar sering melihat orang-orang kecil berkelebat di malam hari, mereka membawa wadah seperti ember, tetapi terbuat dari kayu. Beberapa warga juga sering mendapati cahaya obor berkelebat disekitar sumber air mereka. Sampai detik ini, belum ada satu pun orang yang mengaku pernah melihat suku Oni ini dengan jelas kendati cerita keberadaan mereka sudah populer. (reportase: Yahya maulana)




Baju Bodo, Baju Tokko, Pakaian Adat Bugis Makassar; Sejarah dan Aturan Pakainya

Tahukah anda? Baju Bodo, busana dengan potongan simetris sederhana, dengan efek menggelembung dan longgar, berasal dari etnis Sulawesi ...